Perceraian dalam perkawinan campuran, anak berhak memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya. Jika anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya WNI, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah wajib mengurus status kewarganegaraan RI bagi anak tersebut.
Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun demikian, tak jarang dalam perjalanan sebuah perkawinan ada berbagai persoalan yang menyulut perselisihan yang berujung pada perceraian.
Praktisi Hukum, Ike Farida, mengatakan perceraian salah satu masalah pelik yang juga kerap dialami pelaku perkawinan campuran. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pasangan kawin campur bila mengalami perceraian. Secara prinsip, UU Perkawinan mempersulit terjadinya perceraian bila tidak memiliki alasan yang kuat.
Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ike menyebutkan ada beberapa alasan perceraian dan harus dilakukan melalui putusan pengadilan.
Pertama, salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainnya yang sukar disembuhkan. Kedua, salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya/kemampuannya. Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain. Kelima, salah satu pihak cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. Keenam, antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga (lihat Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975).
Bila pilihan terakhir perceraian, Ike mengingatkan hal yang perlu disiapkan untuk mengajukan gugatan perceraian, antara lain kartu identitas, KTP, SIM, atau paspor. Lalu, pihak yang mengajukan cerai (penggugat) harus menulis daftar saksi yang akan bersaksi di pengadilan. Misalnya, jika alasan cerai adalah KDRT, maka harus ada dokumentasi bekas kekerasan atau bisa juga meminta saudara yang tinggal di rumah ketika kekerasan itu terjadi diminta menjadi saksi.
Kemudian, menulis daftar aset baik harta bersama dan harta bawaan disertai bukti kepemilikan harta. Harta bawaan itu harta yang diperoleh masing-masing pasangan sebelum pernikahan. Harta bersama yakni harta yang diperoleh pasangan suami-istri selama pernikahan berlangsung.
Ike juga mengingatkan bagi pasangan kawin campur melihat kembali isi perjanjian kawin yang telah mereka buat terkait harta kekayaan (nafkah anak). Bila dalam perjanjian menyebutkan semua harta kekayaan milik istri (WNI), hanya perlu menyampaikan isi perjanjian itu di persidangan. Mengenai tata cara pendaftaran gugatan perceraian di pengadilan, Ike mengatakan yang bersangkutan bisa melakukan sendiri (dengan petunjuk petugas pengadilan, red) atau memberi kuasa kepada pengacara atau berkonsultasi pada konsultan hukum.
Soal hak asuh anak, Ike mengingatkan secara prinsip berada di tangan ibu (istri). Sekalipun ibu tidak bekerja, dia memiliki hak asuh anak sampai berumur 12 tahun bila pasangan suami-istri beragama Islam. Ini diatur Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebut dalam hal terjadi perceraian hak asuh anak yang belum mumayyiz (dewasa/akil baliq) atau belum berumur 12 tahun hak asuh ada pada ibunya.
Bila anak yang sudah mumayyiz diberikan kebebasan pada anak untuk memilih apakah diasuh oleh ayah atau ibunya. KHI juga mengatur biaya pemeliharaan anak setelah perceraian ditanggung oleh ayahnya. (Baca Juga: Hak Asuh Anak Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak]
Mengutip Klinik Hukumonline, hak asuh anak, UU Perkawinan tidak mengatur secara khusus siapa yang berhak mendapatkan hak asuh anak yang belum berusia 12 tahun. Pasal 41 UU Perkawinan hanya mengatur baik ibu atau bapak tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya dan jika ada perselisihan hak asuh anak, Pengadilan yang akan memberi putusannya.
Prinsipnya, Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban ini, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul beban biaya pemeliharaan dan pendidikan tersebut.
Lalu, Ike mengutip Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun 2014, menyebutkan dalam hal terjadi perceraian dalam perkawinan campuran, anak berhak memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya. Jika anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya WNI, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah wajib mengurus status kewarganegaraan RI bagi anak tersebut.
18 juli 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tuliskan komentar atau tanggapan di bagian ini. Mohon pergunakan bahasa yang baik, singkat namun mudah dipahami secara umum. Jangan gunakan singkatan2 kata yang tidak populer sehingga akan menghindari kami dari salah interprestasi.
Selanjutnya komentar anda akan kami tanggapi sesegera mungkin.
Salam hormat,
JAMEMAGAM