Penulis Artikel

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Untuk info atau bantuan lebih lanjut, silahkan anda kontak kami via : WA : 0812 1273 1032

Jumat, 23 Juli 2010

RISALAH KHALIFAH UMAR IBNU AL KHATTAB

“Bahwa sesungguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT dan suatu Sunnah Rasul yang wajib diikuti. Maka fahamilah benar-benar jika ada sesuatu perkara yang dikemukakan kepadamu dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran (putusan / penetapan) yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan / tidak dilaksanakan). Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu, dan keputusanmu, sehingga orang bangsawan (berkuasa / berharta) tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan”.


“Keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa (menggugat / meneguhkan suatu dalil hak) dan sumpah hendaklan dilakukan oleh orang yang mungkir (terdakwa / tergugat / menolak dalil lawan)”.


“Perdamaian (kesepakatan) diizinkan hanya antara orang-orang yang bersengketa dari kalangan muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan barang yang halal”.


“Barangsiapa mengaku sesuatu hak yang ghoib (status perkawinan / status kepemilikan / hak atas benda tidak berwujud / hak atas benda yang akan datang di kemudian hari) atau sesuatu yang jelas (hak kepemilikan benda bergerak dan tidak bergerak / anak / harta) yang mana bukti-bukti yang akan dikemukakannya itu masih belum terkumpul ditangannya, maka berikanlah kepada orang itu waktu yang ditentukan (penundan waktu sidang). Maka jika ia dapat mengemukakan bukti-bukti tersebut, berikanlah haknya (putuskanlah / tetapkanlah), dan jika ia tidak sanggup (hanya mengaku memiliki hak saja / hanya menuntut saja tanpa bukti-bukti dan saksi-saksi), maka selesailah persoalannya (putuskanlah / tetapkanlah). Sebab cara memberikan waktu yang ditentukan itu (menunda / mengundur hari sidang) adalah sebaik-baiknya penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan yang samar (membuat teran duduk perkara) dan tidaklah akan menghalangimu suatu keputusan yang engkau ambil pada suatu hari kemudian engkau meninjaunya kembali (verzet / banding / kasasi / PK oleh Hakim lain), lalu engkau mendapat petunjuk (hidayah), tidalah hal itu menghalangimu kembali kepada kebenaran karena kebenaran itu adalah Qodim (pasti) yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada kebenaran, itu adalah lebih baik daripada terus menerus di dalam kesesatan”.


“Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang-yang pernah bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukuman jilid (dera - bagi penzinah. pemabuk, penjudi) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya berhubung karena kerabat, hanyalah Allah SWT yang menguasai rahasia hati (yang haq dan yang bathil / jujur atau dusta) hamba-hamba-Nya dan melindungi mereka dari hukuman-Nya kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah”.


“Kemudian fahamilah, fahamilah benar-benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang suatu perkara yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an atau di dalam Sunnah Rasul. Kemudian pada waktu itu pergunakanlah Qiyas terhadap perkara-perkara itu dan carilah pula contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang terbaik pada sisi Allah SWT dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar”.


“Jauhilah sifat membenci, mengacau, membosankan, menyakiti hati manusia dan jauhilah berbuat curang pada waktu ada terjadi persengketaan atau permusuhan, karena sesungguhnya peradilan itu berada di tempat yang hak dimana Allah SWT telah mewajibkan pahala di dalamnya dan juga merupakan peringatan (contoh / pelajaran bagi yang lain) yang baik, barang siapa yang ikhlas niatnya untuk menegakkan yang hak walaupun atas dirinya sendiri, Allah SWT akan mencukupkan (kebahagiaan dan kebutuhan) antara dirinya dan antara manusia dan barang siapa yang berhias diri (angkuh / menutup-nutupi / pamer / kepura-puraan) dengan apa yang tidak ada pada dirinya, maka Allah SWT akan memberikan aib (malu / ganjaran / balasan buruk) kepadanya”.


“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menerima hamba-hamba-Nya kecuali yang ikhlas”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tuliskan komentar atau tanggapan di bagian ini. Mohon pergunakan bahasa yang baik, singkat namun mudah dipahami secara umum. Jangan gunakan singkatan2 kata yang tidak populer sehingga akan menghindari kami dari salah interprestasi.

Selanjutnya komentar anda akan kami tanggapi sesegera mungkin.

Salam hormat,
JAMEMAGAM