Penulis Artikel

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Untuk info atau bantuan lebih lanjut, silahkan anda kontak kami via : WA : 0812 1273 1032

Jumat, 23 Juli 2010

ASAS UMUM HUKUM PERCERAIAN

Di Indonesia saat ini kita tunduk kepada 1 (satu) hukum positif di bidang Perkawinan, yaitu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perkawinan.

Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan tersebut sejak Tanggal 02 Januari 1974, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan Perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonatie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (S. 1898 No. 158) dan peraturan lain yang mengatur tentang Perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

Undang-Undang Perkawinan mengatur secara tegas bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak berperkara. Dan untuk melakukan Perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Selanjutnya ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut adalah :

  1. PENGADILAN AGAMA bagi mereka yang beragama Islam.
  2. PENGADILAN NEGERI bagi lainnya.

Istilah Perceraian itu sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan adalah salah satu saja dari 3 (tiga) sebab putusnya Perkawinan, yaitu sbb :

  1. Kematian
  2. Perceraian ; dan
  3. atas keputusan Pengadilan

Dengan demikian Indonesia telah memiliki satu unifikasi / kodefikasi peraturan dari beberapa peraturan lama yang terserak diberbagai Staatblad produk penjajah dahulu, sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi seluruh Warga Negara yang mencari keadilan ata setiap masalah seputar Perkawinan mereka.

Selanjutnya Undang-Undang Perkawinan memiliki beberapa Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan atas beberapa Pasal yang memerlukan penjabaran lebih lanjut, diantaranya sbb :

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan & Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan & Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

dan lain-lain peraturan dibawahnya setingkat Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, Surat Edaran yang terkait dengan Peraturan-Peraturan Pemerintah tersebut.

ALASAN-ALASAN PERCERAIAN

Menurut ketentuan hukum yang berlaku, di Indonesia Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan sbb :


  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) Tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang mebahayakan pihak yang lain
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tida dapat menjalankan kewajibannya sebagai Suami / Istri
  6. Antara Suami dan Istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


Selanjutnya dalam peraturan lain, yaitu dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 juncto Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, untuk selanjutnya disenbut Kompilasi Hukum Islam, khusus untuk mereka yang beragama Islam alasan Perceraian ditambah 2 (dua) hal lagi yaitu sbb :


  1. Suami melanggar Ta'lik Talak
  2. Peralihan agama atau Murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan yang terjadi dalam rumah tangga


(Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)


Sedangkan isi / bunyi dari Shigat Ta'lik Talak adalah sbb :


"Sesudah Akad Nikah Saya berjanji dengan sepenuh hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang Suami, dan akan saya pergauli Istri saya dengan baik (muasyarah bil ma'ruf) menurut ajaran syariat Islam. Selanjutnya saya membaca Shigat Ta'lik atas Istri saya tersebut sebagai berikut :


Sewaktu-waktu saya :


  1. Meninggalkan Istri saya 2 (dua) Tahun berturut-turut
  2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) Bulan lamanya,
  3. atau saya menyakiti badan / jasmani Istri saya
  4. atau saya membiarkan (tidak memerdulikan) Istri saya 6 (enam) Bulan lamanya, .


kemudian Istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan tersebut, dan Istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai Iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya"


Alasan-alasan sebagaimana tersebut diatas, bukan alasan secara keseluruhan harus ada / harus terpenuhi semua alasan-alasan tersebut untuk mengajukan Perceraian, melainkan cukup salah satu atau beberapa saja diantara alasan-alasan tersebut saja. Sehingga sifatnya adalah relatif alternatif.


Jadi jika misalnya terpenuhi unsur terjadinya perselisihan / pertengkaran yang berlangsung terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga anda saja, maka itu sudah cukup dapat menjadi alasan Perceraian diajukan ke Pengadilan yang berwenang.

RISALAH KHALIFAH UMAR IBNU AL KHATTAB

“Bahwa sesungguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT dan suatu Sunnah Rasul yang wajib diikuti. Maka fahamilah benar-benar jika ada sesuatu perkara yang dikemukakan kepadamu dan laksanakanlah jika jelas kebenarannya, karena sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran (putusan / penetapan) yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan / tidak dilaksanakan). Persamakanlah kedudukan manusia itu dalam majelismu, pandanganmu, dan keputusanmu, sehingga orang bangsawan (berkuasa / berharta) tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang lemahpun tidak berputus asa dari keadilan”.


“Keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa (menggugat / meneguhkan suatu dalil hak) dan sumpah hendaklan dilakukan oleh orang yang mungkir (terdakwa / tergugat / menolak dalil lawan)”.


“Perdamaian (kesepakatan) diizinkan hanya antara orang-orang yang bersengketa dari kalangan muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan barang yang halal”.


“Barangsiapa mengaku sesuatu hak yang ghoib (status perkawinan / status kepemilikan / hak atas benda tidak berwujud / hak atas benda yang akan datang di kemudian hari) atau sesuatu yang jelas (hak kepemilikan benda bergerak dan tidak bergerak / anak / harta) yang mana bukti-bukti yang akan dikemukakannya itu masih belum terkumpul ditangannya, maka berikanlah kepada orang itu waktu yang ditentukan (penundan waktu sidang). Maka jika ia dapat mengemukakan bukti-bukti tersebut, berikanlah haknya (putuskanlah / tetapkanlah), dan jika ia tidak sanggup (hanya mengaku memiliki hak saja / hanya menuntut saja tanpa bukti-bukti dan saksi-saksi), maka selesailah persoalannya (putuskanlah / tetapkanlah). Sebab cara memberikan waktu yang ditentukan itu (menunda / mengundur hari sidang) adalah sebaik-baiknya penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan yang samar (membuat teran duduk perkara) dan tidaklah akan menghalangimu suatu keputusan yang engkau ambil pada suatu hari kemudian engkau meninjaunya kembali (verzet / banding / kasasi / PK oleh Hakim lain), lalu engkau mendapat petunjuk (hidayah), tidalah hal itu menghalangimu kembali kepada kebenaran karena kebenaran itu adalah Qodim (pasti) yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada kebenaran, itu adalah lebih baik daripada terus menerus di dalam kesesatan”.


“Kaum muslimin itu adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang-yang pernah bersumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukuman jilid (dera - bagi penzinah. pemabuk, penjudi) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya berhubung karena kerabat, hanyalah Allah SWT yang menguasai rahasia hati (yang haq dan yang bathil / jujur atau dusta) hamba-hamba-Nya dan melindungi mereka dari hukuman-Nya kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah”.


“Kemudian fahamilah, fahamilah benar-benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang suatu perkara yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an atau di dalam Sunnah Rasul. Kemudian pada waktu itu pergunakanlah Qiyas terhadap perkara-perkara itu dan carilah pula contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang terbaik pada sisi Allah SWT dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar”.


“Jauhilah sifat membenci, mengacau, membosankan, menyakiti hati manusia dan jauhilah berbuat curang pada waktu ada terjadi persengketaan atau permusuhan, karena sesungguhnya peradilan itu berada di tempat yang hak dimana Allah SWT telah mewajibkan pahala di dalamnya dan juga merupakan peringatan (contoh / pelajaran bagi yang lain) yang baik, barang siapa yang ikhlas niatnya untuk menegakkan yang hak walaupun atas dirinya sendiri, Allah SWT akan mencukupkan (kebahagiaan dan kebutuhan) antara dirinya dan antara manusia dan barang siapa yang berhias diri (angkuh / menutup-nutupi / pamer / kepura-puraan) dengan apa yang tidak ada pada dirinya, maka Allah SWT akan memberikan aib (malu / ganjaran / balasan buruk) kepadanya”.


“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan menerima hamba-hamba-Nya kecuali yang ikhlas”.

Kamis, 22 Juli 2010

CERAI TALAK

Prosedur Mengajukan PERMOHONAN TALAK di PENGADILAN AGAMA Bagi SUAMI (MUSLIM) Selaku PEMOHON :


Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau Kuasanya.


  1. Mengajukan Surat Permohonan atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah
  2. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah tentang tata cara membuat Surat Permohonan.
  3. Surat Permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah Posita dan Petitum. Jika Termohon telah menjawab Surat Permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
  4. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon
  5. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa Izin Pemohon, maka Permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon.
  6. Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka Permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon.
  7. Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri maka Permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat
  8. Permohonan tersebut memuat :

a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;

b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);

c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)

  1. Permohonan soal Penguasan Anak (Hadlonah), Nafkah Anak, Natkah Istri dan Harta Bersama dapat diajukan bersama-sama dengan Permohonan Cerai Talak atau sesudah IKRAR TALAK diucapkan
  2. Membayar biaya perkara, bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (Prodeo).


Tahapan Persidangan :


  1. Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan Suami Istri harus datang secara pribadi.
  2. Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh Mediasi.
  3. Apabila Mediasi tidak behasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan Surat Pemohonan, Jawaban, Jawab Menjawab (Replik dan Duplik), Pembuktian (Bukti Tertulis dan Saksi-Saksi) dan Kesimpulan.
  4. Dalam tahap Jawab Menjawab (Replik dan Duplik) sebelum Pembukian) Temohon dapat mengajukan Gugatan Rekonvensi (gugat balik).
  5. Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah atas Permohonan Cerai Talak sebagai berikut:

a. Permohonan dikabulkan. Apabila Termohon tidak puas dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Agama setempat melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah tersebut.

b. Permohonan ditolak. Pemohon dapat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Agama setempat melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah tersebut/

c. Pemohonan tidak diterima.Pemohon dapat mengajukan Surat Permohonan baru.

  1. Apabila permohohann dikabulkan dan Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
    1. Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah menentukan hasil sidang penyaksian IKRAR TALAK;
    2. Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah memanggil Pemohon dan Temohon untuk melaksanakan Ikrar Talak.
    3. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) Bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian Ikrar Talak, Suami atau kuasanya tidak melaksanakan Iknr Talak di depan sidang, maka gugurlah kekuatan hukum Penetapan tersebut dan Perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan atas alasan hukum yang sama.
  2. Setelah IKAR TALAK diucapkan Panitera berkewajiban memberikan AKTA CERAI sebagai surat bukti terjadinya Perceraian kepada kedua belah pihak.

CERAI GUGAT

Pada bagian ini, adalah penjabaran secara umum mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan oleh PENGGUGAT (ISTRI) yang telah memiliki alasan perceraian yang kuat untuk mengajukan GUGAT CERAI terhadap Suaminya di Pengadilan Agama yang berwenang.


Adapun yang harus dipersiapkan adalah sbb ::


  1. Mengajukan Surat Gugatan atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah.

  1. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah tentang tata cara membuat surat gugatan

  1. Surat Gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah Posita (uraian dalil) dan Petitum. (tuntutan), namun jika Tergugat (Suami) telah menjawab Surat Gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

  1. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat

  1. Bila Penggugat telah meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat

  1. Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat

  1. Bila Penggugat dan Tergugat berlempat kediaman di luar negeri, maka Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat .

  1. Gugatan tersebut memuat :

    1. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Penggugat dan Tergugat;

    1. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);

    1. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)

  1. Gugatan soal Penguasan Anak (Hadlonah), Nafkah Anak, Natkah Istri dan Harta Bersama dapat diajukan bersama-sama dengan Gugatan Perceraian atau sesudah Putusan Perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.

  1. Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (Prodeo)

  1. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iyah


Tahapan Persidangan :


  1. Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan Suami Istri harus datang secara pribadi.

  1. Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewaiibkan kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh Mediasi.

  1. Apabila Mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan membacakan Surat Gugatan, Jawaban, Replik, Duplik, Pembuktian (Bukti Tertulis dan Saksi-Saksi) dan Kesimpulan.

  1. Dalam tahap Jawab Menjawab (Replik & Duplik sebelum Pembuktian) Tergugat dapat mengajukan Gugatan Rekonvansi (Gugat Balik).

  1. Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iah Cerai Gugat adalah sebagai berikut :

    1. Gugatan dikabulkan. Maka apabila Tergugat tidak puas dapat mengajuukan Banding ke Pengadilan Tinggi Agama setempat melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iah tersebut.

    1. Gugatan ditolak, Maka Penggugat dapat mangajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Agama setempat melalui Pengadilan Agama / Mahkamah Syar'iah tersebut.

    1. Gugatan tidak diterima. Maka Penggugat dapat mengajukan Surat Gugatan baru.

  1. Setelah Putusan yang mengabulkan Perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap maka Panitera Pengadilan Agama / Mahkamh Syar'iyah memberikan AKTA CERAI sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak.

GUGATAN PERCERAIAN

KRISTIANI

Pertama-tama, apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a:


“Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komimen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).


Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi.


Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).


Kontroversi mengenai apakah perceraian dan pernikahan kembali diizinkan oleh Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali.


Banyak penafsir Alkitab yang memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan.” Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.


Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan “perzinahan” bisa berarti bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan kalau terjadi perzinahan. Hubungan seksual adalah merupakan bagian integral dari ikatan penikahan, “keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24; Matius 19:5; Efesus 5:31).


Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai. Jika demikian, dalam ayat ini, Yesus juga memikirkan tentang pernikahan kembali. Frasa “kawin dengan perempuan lain” (Matius 19:9) mengindikasikan bahwa perceraian dan pernikahan kembali diizinkan dalam kerangka klausa pengecualian, bagaimanapun itu ditafsirkan.


Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tsb, izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Mungkin saja ada contoh-contoh di mana “pihak yang bersalah” diizinkan untuk menikah kembali, namun konsep tsb tidak ditemukan dalam ayat ini.


Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai “pengecualian” lainnya, di mana pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan pasangan yang percaya. Namun demikian, konteks ayat ini tidak menyinggung soal pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai.


Orang-orang lainnya mengklaim bahwa perlakuan sewenang-wenang (terhadap pasangan yang satu atau terhadap anak) adalah alasan yang sah untuk bercerai sekalipun Alkitab tidak mencantumkan hal itu. Walaupun ini mungkin saja, namun tidaklah pantas untuk menebak Firman Tuhan.


Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam perdebatan mengenai klausa pengecualian adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah merupakan izin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai.


Bahkan ketika terjadi perzinahan, dengan anugrah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni dan membangun kembali pernikahan mereka. Tuhan telah terlebih dahulu mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32).


Namun, dalam banyak kasus, pasangan yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35).


Menikah kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan.


Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya. Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32).


Tuhan mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anakNya. Orang percaya yang bercerai dan/atau menikah kembali jangan merasa kurang dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal yang baik.

DAFTAR ALAMAT PENGADILAN AGAMA


DAFTAR ALAMAT & NOMOR TELEPON KANTOR PENGADILAN

DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA


MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

(Peradilan Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali)

Jalan Medan Merdeka Utara

Nomor 9 – 13

Jakarta Pusat

DKI Jakarta


PENGADILAN TINGGI AGAMA DKI JAKARTA

(Peradilan Agama Tingkat Banding Wilayah DKI Jakarta)

Jl. Raden Intan II Nomor 3

Duren Sawit Jakarta Timur

Jakarta 13440

Telp : 021 86902313, 86903183

Fax : 021 86902314


PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT

Jl. Rawasari Selatan No.51 
Kel. Rawasari, Kec. Cempaka Putih 
Jakarta Pusat - 10570 
Telp : 021-42802193, 42802210, 42802315
Fax : 021-42802307 


PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA

Jl. Plumpang Semper Nomor 3

Koja Jakarta Utara

Jakarta 14260

Telp / Fax : 021 43935317


PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

Jl. Raya PKP Nomor 24

Kelapa Dua Wetan Ciracas

Jakarta Timur

Jakarta 13730

Telp : 021 87717548

Fax : 021 87717549


PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

Jl. R. Harsono Nomor 1

Ragunan, Pasar Minggu Jakarta Selatan

Telp : 7884001

Fax : 78839743


PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT

Jl. Pesanggrahan Raya No. 32

Kembangan Selatan Jakarta Barat

Jakarta

Telp : 021 58352092

Fax : 021 58352093


PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG

(Peradilan Agama Tingkat Banding Wilayah Propinsi Jawa Barat)

Jl. Soekarno Hatta Nomor 714

Gedebage Bandung

Jawa Barat 40222

Telp : 022 7810365

Fax : 022 7810349


PENGADILAN AGAMA BANDUNG

Jl. Pelajar Pejuang 45 Nomor 8

Bandung

Jawa Barat 40263

Telp : 022 7304250


PENGADILAN AGAMA BOGOR

(Peradilan Agama Tingkat Pertama Wilayah Kotamadya Bogor)

Jl. KH. Abdullah Bin Nuh

Bogor Barat, Kota Bogor

Jawa Barat 

Telp : 0251 8348643
Fax : 0251 8348649


PENGADILAN AGAMA CIBINONG

(Peradilan Agama Tingkat Pertama Wilayah Kab. Bogor)

Jl. Bersih Nomor 1

Kompl Pemda Kab. Bogor

Cibinong

Jawa Barat 16914

Telp : 021 8765483
Fax : 021 8765491


PENGADILAN AGAMA DEPOK

(Peradilan Agama Tingkat Pertama Wilayah Kotamadya Depok)

Jl. Boelevard Sektor Anggrek

Grand Depok City

Kompleks Pemda Depok

Kota Kembang Depok

Jawa Barat 16413

Telp : 77835414

Fax : 77828434


PENGADILAN AGAMA BEKASI

(Peradilan Agama Tingkat Pertama Wilayah Kotamadya Bekasi)

Jl. Jend. Ahmad Yani Nomor 10

Km. 18 Bekasi

Jawa Barat 17141

Telp : 021 8841880


PENGADILAN AGAMA CIKARANG

Jl. Pemkab Bekasi Blok. E 2 

Cikarang Pusat

Jawa Barat

Telp : 021 89970560


PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN

(Peradilan Agama Tingkat Banding Wilayah Propinsi Banten)

Jl. Raya Pandeglang Km. 7

Serang

Banten 42171

Telp : 0254 252485

Fax : 0254 251484


PENGADILAN AGAMA TANGERANG

(Peradilan Agama Tingkat Pertama Wilayah Kotamadya Tangerang)

Jl. Perintis Kemerdekaan Nomor II

Cikokol Tangerang

Banten 15118

Telp / Fax : 021 5524565


PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA

(Peradilan Agama Tingkat Pertama Wilayah Kab. Tangerang)

Kompl. Pemda Kab. Tangerang

Jl. Atiek Soeardi Nomor 1

Tangerang

Banten 15720

Telp / Fax : 021 5994565